Apakah Blog yang Anda kunjungi saat ini cukup bermanfaat atau memberikan informasi baru bagi Anda?

W.E.L.C.O.M.E

Selamat datang... Semoga mendapatkan informasi atau suatu hal baru yang dapat memberikan pencerahan bagi kita semua.. Silahkan tinggalkan pesan atau komentar jika ada masukan atau hal yang dirasa kurang, guna kebaikan kami di masa datang.. Salam Hangat, Adib..

Searching for...

Selasa, 23 Maret 2010

Materi_PK II_3

DOLLARD & MILLER

STRUKTUR KEPRIBADIAN

ÿ Faktor motivasi berpengaruh terhadap terbentuknya sebuah perilaku.

ÿ Habit adalah ikatan antara stimulus (isyarat) dengan suatu respon, yang relatif stabil dan bertahan lama dalam kepribadian (Alwisol, 2007; Hall & Lindzey, 1993). Kebiasaan ini terbentuk tidak hanya karena stimulus eksternal dan respon-respon terbuka, tetapi juga stimulus dan respon-respon internal (Hall & Lindzey, 1993). Lalu bagaimana kita dapat mengetahui habit kita atau habit orang-orang yang ada di sekitar kita? Habit ditampakkan kepada orang lain lewat sebuah perilaku yang dapat diamati. Perilaku yang terus menerus dilakukan hingga membentuk sebuah pola perilaku tertentu, inilah yang dinamakan habit atau kita biasa sebut dengan kebiasaan. Perilaku ini terbentuk melalui pengalaman khas masing-masing individu, yang tentunya bebeda-beda antara individu satu dengan yang lainnya.

ÿ Menurut teori ini, kepribadian adalah kebiasaan-kebiasaan, namun struktur khususnya tergantung pada peristiwa unik yang dialami masing-masing individu. Struktur ini hanya bersifat sementara, mengingat kebiasaan individu hari ini dengan esok pasti akan berbeda. Faktor apa yang dapat menbuat kebiasaan ini menetap, Dollard & Miller menyerahkannya pada para klinisi untuk mengkajinya lebih lanjut (Hall & Lindzey, 1993).

ÿ Dorongan Sekunder (secondary drives) dianggap sebagai bagian dari kepribadian yang relatif stabil.

DINAMIKA KEPRIBADIAN

ÿ Dollard & Miller sependapat dengan teori psikodinamika tentang kecemasan, konflik dan represi, maka sebagian teorinya berpatokan pada pendekatan psikodinamik yakni motivasi seseorang melakukan sebuah perilaku tertentu karena adanya dorongan primer (primary drives) seperti kecemasan. Dorongan primer adalah kebutuhan dasar manusia seperti lapar, haus dan seks. Bagaimana seseorang menampakkan dorongan primernya ke dunia nyata, inilah yang dinamakan dorongan sekunder. Dorongan sekunder dipelajari seseorang dari lingkungannya, agar dorongan primer ini tidak nampak nyata.

ÿ Dorongan-dorongan yang diperoleh, seperti kecemasan, rasa malu, atau keinginan untuk menyenangkan orang lain, mendorong sebagian besar perbuatan kita. Sayangnya dorongan primer dalam kebanyakan hal tidak dapat diobservasi dalam situasi biasa pada seorang dewasa yang telah memasyarakat (Hall & Lindzey, 1993). Hanya dalam proses perkembangan masa anak-anak atau dalam periode krisis, dapat dilihat jelas beroperasinya dorongan primer (Alwisol, 2007; Hall & Lindzey, 1993). Mengapa demikian? Sebab pada masa anak-anak, mereka dapat menampakkan diri apa adanya, juga proses pembelajaran mereka dari lingkungan belum sempurna. Demikian halnya orang yang sedang mengalami masa krisis, jika menurut teori Psikoanalisa egonya melemah, dan ia pun akan dapat menampakkan diri apa adanya tanpa dihalangi oleh super ego.

ÿ Hadiah atau penguat primer juga digantikan oleh hadiah atau penguat sekunder, namun tidak dapat bertahan lama untuk dapat memperkuat perilaku. Penguat sekunder dapat bertahan lama jika kadang-kadang diberikan bersamaan dengan penguat primer. Misalnya perilaku belajar anak akan meningkat jika ia dipuji sebagai anak pintar atau ibu kerap kali tersenyum manis ketika anaknya belajar. Namun kali ini senyuman atau pujian orang tua tidak lagi dapat memperkuat perilaku belajar anak, kecuali jika sekali-kali orang tua [;memberikan pujian atau senyuman dengan sebuah hadian mainanan atau makanan kesukaan anak.

ÿ Faktor internal yang menyebabkan munculnya perilaku adalah kecemasan, yang diperoleh dari proses belajar classical conditioning yang kemudian digeneralisasi pada beberapa perilaku selanjutnya. Fungsinya adalah memotivasi dan memperkuat perilaku menghindar, yang bertujuan untuk menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan terjadi kembali.

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN

ÿ Kapasitas bawaan adalah beberapa hal yang dibawa individu sejak ia lahir, yang merupakan respon alamiah terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungannya tanpa adanya proses belajar. Ada tiga hal yang tergolong kapasitas bawaan, yakni:

1. Refleks Khusus, yang sebagian besar berupa respon-respon lepas terhadap satu atau segolongan stimulus tertentu yang sangat spesifik.

2. Hierarki Respon Bawaan, yakni kecenderungan melakukan respon-respon tertentu dalam situasi-situasi stimulus tertentu sebelum respon-respon tertentu yang lain. Misalnya: seorang anak yang berusaha menghindar ketika dihadapkan pada sesuatu hal yang mengancam, sebelum selanjutnya ia menangis.

3. Dorongan Primer, biasanya berupa stimulus-stimulus internal yang sangat kuat dan tahan lama, dan umumnya berhubungan dengan proses-proses fisiologis.

ÿ Mula-mula individu hanya mampu melakukan sejumlah kecil respon yang relatif terlepas-lepas atau terpisah-pisah dari stimulus tertentu. Individu juga memiliki dorongan primer yang mendorong munculnya perilaku, tetapi tidak mengarahkannya. Satu-satunya bentuk awal yang membimbing respon agar sedikit lebih terkontrol adalah kecenderungan respon bawaan, tentunya hanya pada beberapa situasi yang lebih spesifik. Perkembangan perilaku individu selanjutnya, termasuk bagaimana peran lingkungan, akan dipengaruhi oleh proses belajar. Oleh karenanya, di bawah ini kita akan bahas sedikit tentang beberapa hal yang mempengaruhi proses belajar.

KOMPONEN UTAMA BELAJAR

ÿ Drive (dorongan), merupakan stimulus dari dalam diri organisme yang mendorong muculnya sebuah perilaku, tetapi tidak menentukan bentuk perilakunya itu. Drive adalah dorongan yang muncul dari dalam individu, akibat adanya sebuah stimulus dari luar. Drive inilah yang memotivasi/ melatar belakangi munculnya sebuah perilaku. Drive terdiri dari dorongan primer dan dorongan sekunder.

ÿ Cue (isyarat), suatu stimulus yang membimbing respon organisme dengan mengarahkan atau menentukan secara tepat sifat respon (Hall & Lindzey, 1993). Isyarat-isyarat menentukan kapan organisme harus merespon, mana yang harus direspon, dan respon mana yang harus diberikan (Dollard & Miller dalam Hall & Lindzey, 1993). Isyarat dapat berupa visual, auditori, kilatan cahaya, bunyi bel, suara manusia, atau hal yang lain. Jenis isyarat yang berbeda ini menunjukkan keragaman macamnya. Namun ada juga yang menunjukkan intensitas. Misalnya sama-sama bunyi bel, tapi ada yang berdentang keras, lirih, gemerincing, atau bunyi bel yang lain. Dua jenis isyarat ini dapat digunakan, namun yang lebih sering adalah isyarat berdasarkan jenisnya (Hall & Lindzey, 1993).

ÿ Response (respon) adalah bagian terpenting dalam proses belajar. Sebelum suatu respon terntentu dapat dihubungkan dengan suatu isyarat tertentu, respon harus terjadi (Hall & Lindzey, 1993). Dengan kata lain, sesuatu dapat dikatakan respon jika hal itu sudah terjadi atau sudah dilakukan. Misalnya membaca. Seseorang tidak akan dikatakan membaca sebelum ia memegang buku, membuka, dan membacanya. Jika masih berencana akan membaca buku, atau masih sebatas memegang buku, maka belum dapat dikatakan sebagai respon membaca. Lalu bagaimana kita dapat membedakan respon sebagai hasil dari proses belajar dengan hirarki respon bawaan? Jika dihadapkan pada sebuah stimulus atau situasi, individu meresponya secara otomatis tanpa adanya pengalaman atau proses belajar sebelumnya, maka ini dinamakan hirarki respon bawaan. Namun, jika individu pernah mengalami sebelumnya situasi ini dan ia belajar dari kondisi yang sebelumnya, maka inilah yang dinamakan respon resultan. Jika secara otomatis seorang anak yang melihat kobaran api atau kompor yang menyala ia beranjak menjauh, maka ini dinamakan hirarki respon awal yang merupakan dorongan primitif individu ketika berhadapan pada suatu hal yang membahayakan maka ia akan beranjak menjauh. Namun, jika sebelumnya ia pernah menyentuh kompor dan terasa panas lalu ia kesakitan, keesokan harinya ketika ia melihat kompor maka ia menjauh, situasi inilah yang dinamakan respon resultan sebagai hasil dari proses belajar. Hall (1993) menyebutkan bahwa dalam proses perkembangannya, bahasa juga menjadi faktor yang menentukan hirarki mana yang akan bekerja. Misalnya saja jika pengalaman pertama melihat api yang berkobar tadi mendapat penguat negatif bahwa api akan menyakitimu, maka anak akan langsung belajar untuk menjauh yang berarti ia belajar dari perkataan orang disekitarnya. Faktor budaya juga berpengaruh dalam hal ini. Misalnya jika menganggap api sebagai dewa yang harus mereka hormati, mungkin anak tidak akan menjauh tapi justru akan mendekat atau memberi hormat.

ÿ Reinforcement (penguat) seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa penguat adalah faktor penting untuk menjaga kestabilan sebuah perilaku. Tidak jarang timbul suatu situasi di mana tidak satu pun respon yang segera dapat dilakukan oleh individu bersifat memperkuat. Kejadian seperti ini tidak hanya menyebabkan tanggal atau terhapusnya tingkah laku, juga memainkan peranan dalam pembentukan perilaku baru atau perilaku adaptif lain yang lebih luas (Hall & Lindzey, 1993).

PROSES-PROSES MENTAL YANG LEBIH TINGGI

ÿ Interaksi individu dengan lingkungannya ada yang secara langsung dan tidak langsung. Interaksi yang tidak langsung membutuhkan mediasi sebuah respon-respon yang menghasilkan isyarat. Salah satu respon penghasil isyarat yang penting adalah pemberian label atau nama pada sebuah peristiwa atau pengalaman tertentu. Individu dapat segera meningkatkan generalisasi atau mentransfer antara dua atau lebih situasi yang memiliki isyarat yang sama. Misalnya dengan menyebut dua situasi yang berbeda dengan kata “mengancam” maka individu akan menganggap peristiwa itu sebagai hal yang membahayakan dan harus mereka hindari atau dapat lebih memperburuk keadaan. Atau penggunaan kata “kawan” dan “musuh” pada individu yang sama oleh dua orang yang berbedam tentunya akan menghasilkan respon yang berbeda pula.

ÿ Faktor yang dapat membatasi terjadinya generalisasi pada berbagai situasi yang kurang tepat adalah dengan berfikir (reasoning). Berfikir pada hakikatnya merupakan proses menggantikan perbuatan-perbuatan terbuka dengan respon-respon terbuka penghasil isyarat, maka penalaran jauh lebih efisien daripada perbuatan terbuka yang bersifat “trial and error”. Supaya kegiatan berfikir atau merencanakan terjadi, pertama individu harus mampu menahan atau menangguhkan respon instrumental langsung terhadap dorongan dan isyaratnya. Sebagai contoh ketika terjadi kecelakaan pesawat. Orang yang melakukan generalisasi, dia akan ketakutan ketika kelak akan naik pesawat lagi. Namun bagi pilot yang mengemudikannya mungkin mampu berfikir dan menganalisa faktor-faktor penyebab kecelakaan, misalnya karena cuaca, bahan bakar, atau faktor yang lain. Sehingga tingkat generalisasinya berbeda dengan penumpang yang tidak tahu menahu tentang pesawat. Penumpang akan menggeneralisasi setiap pesawat dapat celaka, namun pilotnya mampu berfikir bahwa tidak semua pesawat akan celaka jika cuacanya bagus, kondisi mesin bagus atau hal-hal lain yang dapat menimbulkan kecelakaan dapat diminimalisir. Proses berfikir ini juga penting dalam membuat sebuah perencanaan.

PSIKOPATOLOGIS

ÿ Dollard & Miller mengasumsikan bahwa konflik tak sadar, yang sebagian besar dipelajari selama masa bayi dan masa kanak-kanak, merupakan dasar untuk masalah emosional berat dalam kehidupan kemudian (Hall & Lindzey, 1993). Mereka sependapat dengan para teoritikus psikoanalitik yang memandang pengalaman-pengalaman selama 6 tahun pertama dalam kehidupan merupakan faktor penentu yang sangat penting bagi tingkah laku orang dewasa.

ÿ Konflik neurotik yang terjadi pada anak, sebagai akibat dari kondisi orang tua yang kurang menguntungkan, seperti misalknya perceraian atau kondisi konflik yang lain, yang mempengaruhi perlakuan orang tua ke anak. Tuntutan orang tua terhadap perilaku tertentu dari anak juga menjadi hal yang dapat memicu munculnya tekanan pada anak, akibatnya jika tidak mendapatkan penyelesaian yang benar maka anak akan mencari cara-cara mengatasi masalahnya sendiri yang terkadang belum tentu benar.

ÿ Kondisi lingkungan seperti perang, atau bencana alam, juga berperan terhadap terbentuknya neurosis.

ÿ Salah satu aspek yang menentukan dari pengalaman masa kanak-kanak adalah sifat serba tak berdaya (extreme helplessness) pada anak. Terutama pada masa bayi, anak sedikit banyak tidak mampu memanipulasi lingkungannya dan karenanya mudah sekali menjadi korban stimulus-stimulus dorongan yang tidak terbendung dan kekecewaan-kekecewaan yang berlebihan. Dalam proses perkembangan yang wajar, sang pribadi akan menciptakan mekanisme-mekanisme untuk menghindari situasi-situasi yang menimbulkan frustasi berat. Dalam masa bayi, anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali situasi-situasi tersebut (Hall & Lindzey, 1993). Maka tidaklah mengherankan jika konflik-konflik emosional akut terjadi pada masa kanak-kanak (Dollard & Miller dalam Hall & Lindzey, 1993).

ÿ Dalam teori ini juga mengenal faktor-faktor tak sadar, namun berbeda dengan versi Freud. Dollard & Miller membagi menjadi dua bagian, yakni faktor-faktor yang memang tidak pernah sadar (dorongan, respon, dan isyarat yang dipelejari sebelum anak dapat bicara sehingga tidak diberi label) dan faktor-faktor yang meskipun pernah sadar namun sekarang tidak sadar lagi (yang lebih dikenal dengan represi). Represi adalah suatu proses menghindari pikiran-pikiran tertentu. Proses ini terjadi karena tekana dari lingkungan, dan dipelajari seperti respon yang lainnya. Respon tidak berfikir tentang hal-hal tertentu menyebabkan reduksi dorongan. Misalnya ketika teringat kejadian yang menakutkan maka seseorang segera mengalihkannya pada pikiran yang lain. Menurut teori ini represi adalah sebuah kontinum, mulai dari kecenderungan ringan untuk tidak berfikir mengenai hal itu hingga pada upaya untuk menghindari hal yang menakutkan. Luas dan berat ringannya proses represi ini tergantung pada beberapa faktor seperti kekuatan respon rasa takut yang dibawa sejak lahir, tingkat ketergantungan pada orang tua, dan berat ringannya trauma atau situasi yang menimbulkan rasa takut yang pernah dialami anak.

ÿ Tingkah laku yang menimbulkan konflik dijelaskan dalam lima asumsi dasar, yakni:

1. Perubahan tingkat mendekati, yakni ketika individu semakin dekat pada tujuan.

2. Perubahan tingkat menjauh, bahwa individu cenderung menjauhi suatu stimulus negatif.

3. Perubahan tingkat menjauh lebih tajam dibandingkan perubahan tingkat mendekat.

4. Meningkatnya dorongan (menjauh atau mendekat) berakibat pada bobot perubahan tingkat pada umumnya, artinya kekuatan menjauh atau mendekat akan tetap bertambah manakala tujuan itu didekati, namun dengan tingkatan yang lebih besar.

5. Jika ada dua respon yang bersaing, maka yang lebih kuat yang akan muncul.

Konflik terjadi ketika kedua kondisi di atas sama-sama kuatnya. Jika perubahan tingkat mendekat yang dominan, atau perubahan tingkat menjauh yang dominan, maka akan cenderung ke satu sisi dan tidak akan ada konflik. Namun jika perubahan tingkat mendekat sama kuatnya dengan perubahan tingkat menjauh, maka terjadilah konflik.

ÿ Konflik yang tidak terselesaikan dengan baik dan tetap berada pada alam bawah sadar, maka akan menimbulkan neurosis. Selama konflik-konflik tetap tak sadar maka konflik-konflik itu tidak hanya akan terus bertahan, tetapi juga akan menyebabkan berkembangnya reaksi-reaksi atau simtom-simtom yang lebih lanjut (Hall & Lindzey, 1993). Konflik-konflik neurotik diajarkan oleh orang tua dan dipelajari oleh anak (Dollard & Miller dalam Hall & Lindzey, 1993).

ÿ Psikoterapi, untuk mengatasi hal di atas maka ahli terapi harus menjadi pendengar yang simpatik dan permisif, mendorong pasien untuk mengungkapkan semua perasaannya, dan bebas berasosiasi. Apapun pikiran-pikiran pasien, ahli terapi harus tetap bersikap tidak menghukum dan berusaha menbantu pasien untuk memahami perasaan-perasaan ini dan bagaimana perasaan-perasaan ini berkembang (Hall & Lindzey, 1993).

REFERENSI

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Hall, C & Lindzey, G. 1995. Teori Sifat Behavioristik. Editor : A. Supratiknya. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

1 komentar:

  1. Sangat bagus bisa menambah ilmu lagi nie...dan bisa di terapkan untuk sehari-hari ...all the best for u sir...from hadi

    BalasHapus