Apakah Blog yang Anda kunjungi saat ini cukup bermanfaat atau memberikan informasi baru bagi Anda?

W.E.L.C.O.M.E

Selamat datang... Semoga mendapatkan informasi atau suatu hal baru yang dapat memberikan pencerahan bagi kita semua.. Silahkan tinggalkan pesan atau komentar jika ada masukan atau hal yang dirasa kurang, guna kebaikan kami di masa datang.. Salam Hangat, Adib..

Searching for...

Rabu, 31 Maret 2010

Bagaimana cara memahami aspek psikologis kita?

Saat kita membahas mengenai aspek psikologis pastilah kita akan dihadapkan pada suatu hal yang sangat abstrak, tidak jelas, luas atau mungkin membingungkan. Mengapa demikian? Sebab ketika kita membicarakan mengenai aspek psikologis pastilah kita tidak menemukan hal yang nampak jelas layaknya kita mengenali aspek-aspek fisik kita. Ketika kita merasakan pusing, mungkin kita akan segera mengetahui jika ada masalah pada kepala kita. Karena tahu letak sakitnya dimana, maka upaya yang kita lakukan untuk mengatasinya pastilah tepat. Obat sakit kepala kita pilih untuk membantu kita meredakan sakit kepala. Saat baru jatuh, kaki terluka, maka dengan jelas luka itu terlihat dan kita akan segera ambil alkohol untuk membersihkan luka dan membubuhkan obat untuk luka. Darah tidak keluar lagi, dan masalah kita saat itu teratasi. Lalu jika kita merasakan kondisi psikologis yang kurang nyaman, seperti marah, sedih, kecewa, tiba-tiba merasa tidak enak hati, apakah dengan mudah kita dapat menemukan penyebabnya?

Pada sebagian orang yang selalu terbuka mengenai kondisi emosionalnya akan dengan mudah mengenali problem psikologis atau kondisi psikologisnya saat itu. Sebab dengan keterbukaan, akan membuat ia belajar memilah, dan mengenali emosi atau kondisi psikologis seperti apa yang sedang ia alami saat itu. Inilah yang dinamakan proses atau perkembangan kepribadian seseorang. Lalu bagaimana dengan orang yang tertutup atau tidak pernah terbuka dengan kondisi emosionalnya, apakah hal ini akan menghambat perkembangannya? Hal ini serupa dengan orang yang tidak mengetahui letak sakit fisiknya dimana, maka ia akan mencoba berbagai macam obat untuk mengatasinya. Ada percobaan yang berhasil, ada pula yang gagal. Jika tidak mau gagal dalam mengobati, maka pergilah ke dokter. Begitu juga dengan dimensi psikologis kita. Jika tidak mau salah dalam memaknai atau mengenali kondisi psikologis kita, maka datanglah ke seorang psikolog untuk membantu kita mengenali aspek psikologis kita.

Sayangnya, tidak semua orang yang mau meluangkan waktunya untuk mengunjungi tempat praktek psikologi untuk hanya sekedar berbagi. Masalah keterbatasan waktu, tenaga, ataupun biaya terkadang menjadi beberapa alasan yang membuat seseorang enggan untuk mengunjungi tempat praktek psikologi. Termasuk masih adanya anggapan bahwa psikolog hanyalah untuk orang yang “gila” atau mengalami gangguan jiwa saja. Padahal ketika ada masalah yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari, seperti konflik dengan pasangan, anak, penyesuaian diri dengan perubahan lingkungan, pekerjaan, atau masalah-masalah ringan dalam kehidupan sehari-hari dapat kita share dengan psikolog. Selain membantu kita meluapkan emosi-emosi negatif yang sedang kita rasakan, mungkin kita juga akan mendapatkan insight akan pemecahan masalah kita.

Bagaimana bagi yang tidak mempunyai waktu mengunjungi tempat praktek psikologi? Berikut akan sedikit kita bahas mengenai dimensi psikologis kita. Aspek psikologis kita terdiri dari tiga hal, yakni Kognisi, Emosi, dan Perilaku. Ketiganya merupakan komponen utama yang sangat berpengaruh pada segala hal yang kita lakukan dalam kehidupan kita. Berikut kita bahas satu-persatu mengenai aspek di atas.

1. Kognisi

Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan (Chaplin, 2004). Mudahnya kita mengartikan kognisi ini berkaitan dengan proses berfikir kita. Bagaimana kita memikirkan sesuatu hal yang terjadi dalam kehidupan kita, atau saat kita belajar, aspek kognisi kitalah yang bekerja saat itu.

2. Emosi

Emosi berkaitan dengan perasaan, yakni adanya pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah (Chaplin, 2004). Saat mencium bunga yang harum, adanya rasa senang. Saat melihat adegan sinetron yang menyedihkan, kita menangis. Pada kondisi di ataslah aspek emosi kita sedang bekerja.

3. Perilaku

Perilaku merujuk pada segala hal yang kita lakukan. Makan, minum, berjalan, memukul, jalan, berlari, dsb. Perilaku ini adalah hal yang nampak nyata dan mudah diamati oleh orang lain. Kita menilai teman kita pemarah, egois, pemalas, atau rajin, yang kita nilai adalah perilakunya yang nampak pada pengamatan kita.

Ketiga komponen di atas adalah aspek-aspek yang saling berpengaruh satu sama lain. Sebagai contoh ada dua orang mahasiswa yang sedang kuliah di kelas yang sama. Suatu ketika dosen mengumumkan bahwa minggu depan akan presentasi. Mahasiswa A sangat antusias mendengar berita ini. Dia sangat bersemangat untuk menunggu datangnya minggu depan. Mahasiswa B bereaksi sebaliknya. Dia sangat cemas, khawatir, dan enggan untuk menunggu datangnya minggu depan. Sama-sama mendapat stimulus yang sama, tetapi memiliki emosi yang berbeda pula. Akibatnya, perilaku mereka berdua juga berbeda. Si A datang lebih awal dan sangat bersemangat ketika saatnya presentasi tiba. Sedangkan si B memilih untuk tidak datang atau mungkin jika datang memilih tempat duduk paling belakang sendiri. Mengapa terjadi perbedaan, sebab sumber utamanya ternyata terletak pada pemikiran mereka berdua. Si A sangat antusias, sebab ia berfikir bahwa presentasi adalah ajang baginya untuk belajar berbicara di depan umum, mendapatkan masukan bagi kebaikannya, juga untuk menunjukkan kepintarannya. Sebaliknya, si B berfikir jika nanti saat presentasi ia gagal bagaimana, jika ada pertanyaan yang sulit dijawab bagaimana, jangan-jangan ia melakukan tindakan bodoh, juga beberapa pemikiran negatif lainnya.

Dari ilustrasi di atas nampaklah bahwa sumber utama dari semua hal yang terjadi adalah aspek kognisi kita. Jika kita mampu berfikir positif, maka emosi yang kita rasakan pasti positif dan tentunya perilaku yang muncul juga positif. sebaliknya, jika kita senantiasa berfikiran negatif, emosi yang kita rasakan pastilah negatif, dan tentunya perilaku yang muncul pun negatif. Lalu bagaimana mengatasi hal ini? Cobalah mengidentifikasikan dulu bentuk-bentuk emosi negatif yang terkadang mengganggu kita. Setelah itu kita coba cermati ulang, kira-kira apa yang kita fikirkan saat itu. Tabel di bawah ini mungkin dapat membantu kita mengenali aspek psikologis kita.

Situasi

Emosi (-)

Pemikiran (-)

Perilaku (-)

Konsekuensi (-)

Presentasi

Cemas, khawatir, takut.

Jangan-jangan nanti ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab.

Jangan-jangan ada yang menertawakan atau membicarakan saya di belakang.

Tidak masuk kuliah atau duduk di belakang.

Kehilangan kesempatan untuk belajar presentasi.

Presentasi tidak maksimal.

Suami pulang malam.

Marah.

Jangan-jangan dia baru pergi dengan cewek lain.

Memarahi suami, mendiamkan, tidak menyiapkan makan malam.

Hubungan dengan suami jadi tidak baik.

Ketika kita telah mampu mengidentifikasi beberapa emosi dan pemikiran negatif kita, kemudia kita coba cari alternatif pemikiran yang lebih positif untuk memperbaiki perilaku kita. Misalnya :

Situasi

Pemikiran (+)

Emosi (+)

Perilaku (+)

Konsekuensi (+)

Presentasi

Ini ajang bagi saya untuk belajar bicara di depan umum. Kesalahan itu wajar, toh kita masih belajar.

Tenang, percaya diri, antusias.

Tidak gugup saat presentasi. Datang lebih awal.

Presentasi lancar karena tidak cemas dan semua materi tersampaikan dengan baik.

Suami pulang malam.

Mungkin ada pekerjaan yang belum terselesaikan.

Tidak ada salahnya untuk mencoba percaya, toh misal dia bohong akan ketahuan juga nanti.

Tenang, tidak marah.

Dapat melayani suami dengan baik, menyiapkan makan, air untuk mandi.

Hubungan baik dengan suami tetap terjaga.

Mengetahui secara detail hal sebenarnya yang dilakukan suami, sebab jika saya tidak marah maka ia akan dapat bercerita dengan nyaman.

Hal di atas dapat kita terapkan dalam berbagai situasi di kehidupan kita, saat kita merasakan emosi-emosi negatif. Coba kenali emosi apa yang sedang kita rasakan, renungkan apa yang kita pikirkan saat itu hingga membuat emosi kita demikian, selanjutnya ubahlah ke dalam alternatif pemikiran yang lebih positif, maka perilaku kita akan menjadi positif pula. Belajar mengidentifikasi hal di atas dapat dengan menggunakan media tabel seperti di atas. Pada proses selanjutnya ketika kita sudah sering belajar dan terbiasa, maka secara otomatis ketika kita merasakan emosi negatif yang akan berdampak pada perilaku negatif, kita akan mampu menerapkan pemikiran yang lebih positif.

Memang tidak mudah untuk menerapkan hal di atas. Kita terbentuk seperti sekarang ini, tidak dalam sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tapi bertahun tahun. Oleh karenanya, pola perilaku yang telah terbentu sekian tahun tentunya tidak mudah kita ubah dalam waktu seminggu dua minggu. Butuh waktu untuk mampu mengubah perilaku kita. Kuncinya adalah keterbukaan. Semakin kita jujur dengan kondisi psikologis yang kita alami, maka proses kita untuk menuju perubahan pun semakin mudah. Jangan terlalu sering memendam masalah, sebab dengan ini justru akan menimbulkan masalah baru. Kita ibaratkan kondisi kita seperti sebuah gelas dengan tutup rapat yang hanya mampu dimasuki air, namun tak mampu mengeluarkan air yang sudah masuk. Kapasitas gelas ini hanya 200cc. Setiap hari air ini masuk setetes demi setetes. Tetesan air ini diibaratkan masalah yang setiap hari kita hadapi. Suatu ketika, karena gelas ini tidak mampu mengeluarkan air yang sudah masuk, maka saat kapasitasnya mencapai 200cc lama-lama akan meledak dan pecah. Begitu juga dengan kondisi psikologis kita. Jika semakin sering kita memendam masalah, maka lama-lama akan membuat daya tahan psikologis kita rendah. Hanya karena ditanya orang tua “kok pulang malam” sudah langsung marah besar, sebab ternyata sebelumnya tiap kali orang tua memarahinya ia hanya diam tanpa berusaha menjelaskan duduk perkara yang sesungguhnya.

Manifestasi masalah-masalah yang tidak terpecahkan atau selalu dipendam, dapat juga dalam bentuk keluhan fisik. Misalnya sakit kepala, hipertensi, maag, gatal-gatal, atau beberapa penyakit fisik lain. Guna mengatasi hal ini, maka jangan terlalu sering memendam masalah. Alirkan keluar masalan atau beban yang dirasakan. Ibarat gelas tertutup rapat tadi, semestinya ada sedikit lubang yang berfungsi untuk mengalirkan air keluar agar tidak sampai meledak. Kita pun juga demikian. Bagilah masalah, beban pikiran atau emosi negatif yang sedang kita rasakan, kepada siapa saja orang yang kita percaya dan membuat kita merasa aman. Terlepas dari apakah kita akan mendapatkan solusi atau tidak, minimal beban kita tersalurkan. Ketika beban sudah hilang maka solusi secara otomatis akan terfikirkan, sebab letak solusi dari semua masalah yang sedang kita hadapi ada pada diri kita sendiri. Semoga bermanfaat.

ALBERT BANDURA

ALBERT BANDURA

À Perhatiannya pada variabel yang dapat diamati, diukur dan dimanipulasi, serta menghindari apapun yang bersifat subjektif, mental dan tidak bisa diamati secara empirik.

À Lingkungan memang membentuk perilaku, tetapi perilaku juga membentuk lingkungan. Bandura menyebut konsep ini dengan determinisme resiprokal, yakni dunia dan perilaku seseorang itu saling mempengaruhi.

À Kepribadian sebagai interaksi dari tiga hal, yakni: lingkungan, perilaku, dan proses psikologi seseorang.

À Bandura mengeluarkan teori yang lebih efektif yang mempengaruhi perilaku manusia, yakni pembelajaran observasional (modelling) dan regulasi diri.

À Beberapa tahapan terjadinya proses modelling adalah:

1. Atensi (perhatian)

Jika kita ingin mempelajari sesuatu, maka kita harus memperhatikannya dengan seksama. Semakin banyak hal yang mengganggu perhatian kita, maka proses belajar akan semakin lambat. Segala hal yang mudah sekali menarik perhatian kita, maka hal tersebut akan mudah sekali untuk kita perhatikan. Misalnya: diantara puluhan balon putih, ada sebuah balon merah. Balon merah ini akan lebih menarik perhatian kita dibandingkan balon yang lain.

2. Retensi (ingatan)

Setelah memperhatikan sesuatu, maka seseorang akan menyimpan informasi atau hal yang diperhatikannya kedalam ingatan. Informasi yang dipertahankan (diingat), suatu ketika dapat kita “panggil kembali” hal yang kita simpan tadi dalam bentuk perilaku.

3. Reproduksi

Sebuah proses menerjemahkan hal atau informasi yang telah kita simpan ke dalam perilaku aktual. Untuk dapat memproduksi sebuah perilaku tertentu, sebelumnya kita harus pernah melakukan sesuatu perilaku itu sebelumnya. Misalnya, bermain ski. Meskipun kita menonton seharian lomba ski, namun kita tidak dapat memproduksi perilaku bermain ski seperti yang diperagakan sebab kita tidak dapat bermain ski. Namun jika kita sebelumnya telah terlatih bermain ski namun belum mahir, maka kita hanya dengan menonton permainan itu dapat mereproduksi gerakan permainan ski yang lebih bagus.

4. Motivasi

Segala hal yang mendorong seseorang untuk melakukan sebuah perilaku tertentu. Kita tidak akan dapat melakukan apapun jika tidak ada motivasi dari dalam diri untuk meniru. Bandura menyebutkan beberapa motivasi:

a. Dorongan masa lalu, yakni dorongan-dorongan sebagaimana yang dimaksudkan kaum behavioris tradisonal.

b. Dorongan yang dijanjikan (insentif) yang bisa kita bayangkan.

c. Dorongan-dorongan yang kentara, seperti melihat atau teringat akan model-model yang patut ditiru.

À Regulasi diri adalah kemampuan mengontrol perilaku sendiri. Regulasi diri merupakan salah satu penggerak utama kepribadian manusia. Tiga tahap terjadinya regulasi diri adalah :

1. Pengamatan diri, bagaimana kita melihat diri dan perilaku kita secara detil dan cermat.

2. Penilaian, bagaimana kita membandingkan apa yang kita lihat pada diri kita dengan standar ukuran ideal. Misalnya kita membandingkan perilaku kita dengan standar norma perilaku daerah setempat, sehingga kita mendapatkan penilaian “sopan” dan “tidak sopan”.

3. Respon Diri, adalah bagaimana kita memberikan sebuah respon terhadap hal yang terjadi pada diri kita. Penghargaan dapat diberikan ketika kita melakukan hal yang positif, sebaliknya hukuman dapat kita ganjarkan pada diri kita ketika kita melakukan hal yang negatif.

À Konsep paling penting dalam psikologi yang dapat dipahami dari sudut pandang regulasi diri ini adalah konsep diri. Konsep diri adalah bagaimana pandangan seseorang tentang dirinya. Apakah menganggap dirinya sosok yang berharga, atau sebagai sosok pribadi yang tidak berguna.

À Tiga hal yang akan muncul akibat penghukuman diri :

1. Kompensasi, yaitu kompleks superioritas, semisal berkhayal punya harga diri atau kehormatan yang sangat tinggi.

2. Ketidakaktifan, seperti sikap apatis (tidak peduli terhadap segala hal yang terjadi dengan lingkungannya), kebosanan, dan depresi.

3. Pelarian, beralih pada hal-hal yang negatif seperti narkoba, alkohol, atau mungkin bunuh diri.

À Saran Bandura untuk orang-orang yang memiliki konsep diri yang buruk sebagai akibat dari tidak berhasilnya proses regulasi diri, adalah:

§ Pengamatan diri, dengan mengenali kondisi diri yang sesungguhnya saat ini. Pastikan bahwa kita memperoleh gambaran yang tepat tentang siapa diri kita yang sesungguhnya.

§ Memperhatikan standar ukuran, dengan melihat seberapa besar kita meletakkan standar ukuran akan sebuah target atau nilai yang ingin kita capai. Jangan membuat standar ukuran yang terlalu tinggi, sedangkan kita tahu bahwa kita tidak akan mungkin mencapainya dengan kapasitas kita yang sekarang. Sebaliknya jangan pula membuat standar ukuran yang terlalu rendah dan tidak berarti apa-apa. Masing-masing orang mempunyai ukuran dan standar yang berbeda.

§ Memperhatikan respon diri, bentuk respon diri berupa imbalan lebih baik daripada hukuman. Jangan terlalu berkutat pada kegagalan-kegagalan yang kita alami, tetapi berfokuslan bagaimana kita dapat lebih menghargai diri kita sendiri.

À PSIKOPATOLOGIS

Terjadi ketika proses modeling salah. Misalnya seorang anak yang meniru perilaku takut ibunya ketika melihat kecoa. Semula si anak biasa saja ketika melihat kecoa. Namun si ibu tiap kali melihat kecoa selalu berteriak,ketakutan atau mungkin naik ke atas kursi. Si anak yang tidak mengetahui mengapa si ibu berprilaku demikian, tentunya secara tidak sadar akan meniru pola perilaku ibu ketika menghadapi kecoa.

Selasa, 23 Maret 2010

Materi_PK II_3

DOLLARD & MILLER

STRUKTUR KEPRIBADIAN

ÿ Faktor motivasi berpengaruh terhadap terbentuknya sebuah perilaku.

ÿ Habit adalah ikatan antara stimulus (isyarat) dengan suatu respon, yang relatif stabil dan bertahan lama dalam kepribadian (Alwisol, 2007; Hall & Lindzey, 1993). Kebiasaan ini terbentuk tidak hanya karena stimulus eksternal dan respon-respon terbuka, tetapi juga stimulus dan respon-respon internal (Hall & Lindzey, 1993). Lalu bagaimana kita dapat mengetahui habit kita atau habit orang-orang yang ada di sekitar kita? Habit ditampakkan kepada orang lain lewat sebuah perilaku yang dapat diamati. Perilaku yang terus menerus dilakukan hingga membentuk sebuah pola perilaku tertentu, inilah yang dinamakan habit atau kita biasa sebut dengan kebiasaan. Perilaku ini terbentuk melalui pengalaman khas masing-masing individu, yang tentunya bebeda-beda antara individu satu dengan yang lainnya.

ÿ Menurut teori ini, kepribadian adalah kebiasaan-kebiasaan, namun struktur khususnya tergantung pada peristiwa unik yang dialami masing-masing individu. Struktur ini hanya bersifat sementara, mengingat kebiasaan individu hari ini dengan esok pasti akan berbeda. Faktor apa yang dapat menbuat kebiasaan ini menetap, Dollard & Miller menyerahkannya pada para klinisi untuk mengkajinya lebih lanjut (Hall & Lindzey, 1993).

ÿ Dorongan Sekunder (secondary drives) dianggap sebagai bagian dari kepribadian yang relatif stabil.

DINAMIKA KEPRIBADIAN

ÿ Dollard & Miller sependapat dengan teori psikodinamika tentang kecemasan, konflik dan represi, maka sebagian teorinya berpatokan pada pendekatan psikodinamik yakni motivasi seseorang melakukan sebuah perilaku tertentu karena adanya dorongan primer (primary drives) seperti kecemasan. Dorongan primer adalah kebutuhan dasar manusia seperti lapar, haus dan seks. Bagaimana seseorang menampakkan dorongan primernya ke dunia nyata, inilah yang dinamakan dorongan sekunder. Dorongan sekunder dipelajari seseorang dari lingkungannya, agar dorongan primer ini tidak nampak nyata.

ÿ Dorongan-dorongan yang diperoleh, seperti kecemasan, rasa malu, atau keinginan untuk menyenangkan orang lain, mendorong sebagian besar perbuatan kita. Sayangnya dorongan primer dalam kebanyakan hal tidak dapat diobservasi dalam situasi biasa pada seorang dewasa yang telah memasyarakat (Hall & Lindzey, 1993). Hanya dalam proses perkembangan masa anak-anak atau dalam periode krisis, dapat dilihat jelas beroperasinya dorongan primer (Alwisol, 2007; Hall & Lindzey, 1993). Mengapa demikian? Sebab pada masa anak-anak, mereka dapat menampakkan diri apa adanya, juga proses pembelajaran mereka dari lingkungan belum sempurna. Demikian halnya orang yang sedang mengalami masa krisis, jika menurut teori Psikoanalisa egonya melemah, dan ia pun akan dapat menampakkan diri apa adanya tanpa dihalangi oleh super ego.

ÿ Hadiah atau penguat primer juga digantikan oleh hadiah atau penguat sekunder, namun tidak dapat bertahan lama untuk dapat memperkuat perilaku. Penguat sekunder dapat bertahan lama jika kadang-kadang diberikan bersamaan dengan penguat primer. Misalnya perilaku belajar anak akan meningkat jika ia dipuji sebagai anak pintar atau ibu kerap kali tersenyum manis ketika anaknya belajar. Namun kali ini senyuman atau pujian orang tua tidak lagi dapat memperkuat perilaku belajar anak, kecuali jika sekali-kali orang tua [;memberikan pujian atau senyuman dengan sebuah hadian mainanan atau makanan kesukaan anak.

ÿ Faktor internal yang menyebabkan munculnya perilaku adalah kecemasan, yang diperoleh dari proses belajar classical conditioning yang kemudian digeneralisasi pada beberapa perilaku selanjutnya. Fungsinya adalah memotivasi dan memperkuat perilaku menghindar, yang bertujuan untuk menghindari pengalaman yang tidak menyenangkan terjadi kembali.

PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN

ÿ Kapasitas bawaan adalah beberapa hal yang dibawa individu sejak ia lahir, yang merupakan respon alamiah terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungannya tanpa adanya proses belajar. Ada tiga hal yang tergolong kapasitas bawaan, yakni:

1. Refleks Khusus, yang sebagian besar berupa respon-respon lepas terhadap satu atau segolongan stimulus tertentu yang sangat spesifik.

2. Hierarki Respon Bawaan, yakni kecenderungan melakukan respon-respon tertentu dalam situasi-situasi stimulus tertentu sebelum respon-respon tertentu yang lain. Misalnya: seorang anak yang berusaha menghindar ketika dihadapkan pada sesuatu hal yang mengancam, sebelum selanjutnya ia menangis.

3. Dorongan Primer, biasanya berupa stimulus-stimulus internal yang sangat kuat dan tahan lama, dan umumnya berhubungan dengan proses-proses fisiologis.

ÿ Mula-mula individu hanya mampu melakukan sejumlah kecil respon yang relatif terlepas-lepas atau terpisah-pisah dari stimulus tertentu. Individu juga memiliki dorongan primer yang mendorong munculnya perilaku, tetapi tidak mengarahkannya. Satu-satunya bentuk awal yang membimbing respon agar sedikit lebih terkontrol adalah kecenderungan respon bawaan, tentunya hanya pada beberapa situasi yang lebih spesifik. Perkembangan perilaku individu selanjutnya, termasuk bagaimana peran lingkungan, akan dipengaruhi oleh proses belajar. Oleh karenanya, di bawah ini kita akan bahas sedikit tentang beberapa hal yang mempengaruhi proses belajar.

KOMPONEN UTAMA BELAJAR

ÿ Drive (dorongan), merupakan stimulus dari dalam diri organisme yang mendorong muculnya sebuah perilaku, tetapi tidak menentukan bentuk perilakunya itu. Drive adalah dorongan yang muncul dari dalam individu, akibat adanya sebuah stimulus dari luar. Drive inilah yang memotivasi/ melatar belakangi munculnya sebuah perilaku. Drive terdiri dari dorongan primer dan dorongan sekunder.

ÿ Cue (isyarat), suatu stimulus yang membimbing respon organisme dengan mengarahkan atau menentukan secara tepat sifat respon (Hall & Lindzey, 1993). Isyarat-isyarat menentukan kapan organisme harus merespon, mana yang harus direspon, dan respon mana yang harus diberikan (Dollard & Miller dalam Hall & Lindzey, 1993). Isyarat dapat berupa visual, auditori, kilatan cahaya, bunyi bel, suara manusia, atau hal yang lain. Jenis isyarat yang berbeda ini menunjukkan keragaman macamnya. Namun ada juga yang menunjukkan intensitas. Misalnya sama-sama bunyi bel, tapi ada yang berdentang keras, lirih, gemerincing, atau bunyi bel yang lain. Dua jenis isyarat ini dapat digunakan, namun yang lebih sering adalah isyarat berdasarkan jenisnya (Hall & Lindzey, 1993).

ÿ Response (respon) adalah bagian terpenting dalam proses belajar. Sebelum suatu respon terntentu dapat dihubungkan dengan suatu isyarat tertentu, respon harus terjadi (Hall & Lindzey, 1993). Dengan kata lain, sesuatu dapat dikatakan respon jika hal itu sudah terjadi atau sudah dilakukan. Misalnya membaca. Seseorang tidak akan dikatakan membaca sebelum ia memegang buku, membuka, dan membacanya. Jika masih berencana akan membaca buku, atau masih sebatas memegang buku, maka belum dapat dikatakan sebagai respon membaca. Lalu bagaimana kita dapat membedakan respon sebagai hasil dari proses belajar dengan hirarki respon bawaan? Jika dihadapkan pada sebuah stimulus atau situasi, individu meresponya secara otomatis tanpa adanya pengalaman atau proses belajar sebelumnya, maka ini dinamakan hirarki respon bawaan. Namun, jika individu pernah mengalami sebelumnya situasi ini dan ia belajar dari kondisi yang sebelumnya, maka inilah yang dinamakan respon resultan. Jika secara otomatis seorang anak yang melihat kobaran api atau kompor yang menyala ia beranjak menjauh, maka ini dinamakan hirarki respon awal yang merupakan dorongan primitif individu ketika berhadapan pada suatu hal yang membahayakan maka ia akan beranjak menjauh. Namun, jika sebelumnya ia pernah menyentuh kompor dan terasa panas lalu ia kesakitan, keesokan harinya ketika ia melihat kompor maka ia menjauh, situasi inilah yang dinamakan respon resultan sebagai hasil dari proses belajar. Hall (1993) menyebutkan bahwa dalam proses perkembangannya, bahasa juga menjadi faktor yang menentukan hirarki mana yang akan bekerja. Misalnya saja jika pengalaman pertama melihat api yang berkobar tadi mendapat penguat negatif bahwa api akan menyakitimu, maka anak akan langsung belajar untuk menjauh yang berarti ia belajar dari perkataan orang disekitarnya. Faktor budaya juga berpengaruh dalam hal ini. Misalnya jika menganggap api sebagai dewa yang harus mereka hormati, mungkin anak tidak akan menjauh tapi justru akan mendekat atau memberi hormat.

ÿ Reinforcement (penguat) seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya bahwa penguat adalah faktor penting untuk menjaga kestabilan sebuah perilaku. Tidak jarang timbul suatu situasi di mana tidak satu pun respon yang segera dapat dilakukan oleh individu bersifat memperkuat. Kejadian seperti ini tidak hanya menyebabkan tanggal atau terhapusnya tingkah laku, juga memainkan peranan dalam pembentukan perilaku baru atau perilaku adaptif lain yang lebih luas (Hall & Lindzey, 1993).

PROSES-PROSES MENTAL YANG LEBIH TINGGI

ÿ Interaksi individu dengan lingkungannya ada yang secara langsung dan tidak langsung. Interaksi yang tidak langsung membutuhkan mediasi sebuah respon-respon yang menghasilkan isyarat. Salah satu respon penghasil isyarat yang penting adalah pemberian label atau nama pada sebuah peristiwa atau pengalaman tertentu. Individu dapat segera meningkatkan generalisasi atau mentransfer antara dua atau lebih situasi yang memiliki isyarat yang sama. Misalnya dengan menyebut dua situasi yang berbeda dengan kata “mengancam” maka individu akan menganggap peristiwa itu sebagai hal yang membahayakan dan harus mereka hindari atau dapat lebih memperburuk keadaan. Atau penggunaan kata “kawan” dan “musuh” pada individu yang sama oleh dua orang yang berbedam tentunya akan menghasilkan respon yang berbeda pula.

ÿ Faktor yang dapat membatasi terjadinya generalisasi pada berbagai situasi yang kurang tepat adalah dengan berfikir (reasoning). Berfikir pada hakikatnya merupakan proses menggantikan perbuatan-perbuatan terbuka dengan respon-respon terbuka penghasil isyarat, maka penalaran jauh lebih efisien daripada perbuatan terbuka yang bersifat “trial and error”. Supaya kegiatan berfikir atau merencanakan terjadi, pertama individu harus mampu menahan atau menangguhkan respon instrumental langsung terhadap dorongan dan isyaratnya. Sebagai contoh ketika terjadi kecelakaan pesawat. Orang yang melakukan generalisasi, dia akan ketakutan ketika kelak akan naik pesawat lagi. Namun bagi pilot yang mengemudikannya mungkin mampu berfikir dan menganalisa faktor-faktor penyebab kecelakaan, misalnya karena cuaca, bahan bakar, atau faktor yang lain. Sehingga tingkat generalisasinya berbeda dengan penumpang yang tidak tahu menahu tentang pesawat. Penumpang akan menggeneralisasi setiap pesawat dapat celaka, namun pilotnya mampu berfikir bahwa tidak semua pesawat akan celaka jika cuacanya bagus, kondisi mesin bagus atau hal-hal lain yang dapat menimbulkan kecelakaan dapat diminimalisir. Proses berfikir ini juga penting dalam membuat sebuah perencanaan.

PSIKOPATOLOGIS

ÿ Dollard & Miller mengasumsikan bahwa konflik tak sadar, yang sebagian besar dipelajari selama masa bayi dan masa kanak-kanak, merupakan dasar untuk masalah emosional berat dalam kehidupan kemudian (Hall & Lindzey, 1993). Mereka sependapat dengan para teoritikus psikoanalitik yang memandang pengalaman-pengalaman selama 6 tahun pertama dalam kehidupan merupakan faktor penentu yang sangat penting bagi tingkah laku orang dewasa.

ÿ Konflik neurotik yang terjadi pada anak, sebagai akibat dari kondisi orang tua yang kurang menguntungkan, seperti misalknya perceraian atau kondisi konflik yang lain, yang mempengaruhi perlakuan orang tua ke anak. Tuntutan orang tua terhadap perilaku tertentu dari anak juga menjadi hal yang dapat memicu munculnya tekanan pada anak, akibatnya jika tidak mendapatkan penyelesaian yang benar maka anak akan mencari cara-cara mengatasi masalahnya sendiri yang terkadang belum tentu benar.

ÿ Kondisi lingkungan seperti perang, atau bencana alam, juga berperan terhadap terbentuknya neurosis.

ÿ Salah satu aspek yang menentukan dari pengalaman masa kanak-kanak adalah sifat serba tak berdaya (extreme helplessness) pada anak. Terutama pada masa bayi, anak sedikit banyak tidak mampu memanipulasi lingkungannya dan karenanya mudah sekali menjadi korban stimulus-stimulus dorongan yang tidak terbendung dan kekecewaan-kekecewaan yang berlebihan. Dalam proses perkembangan yang wajar, sang pribadi akan menciptakan mekanisme-mekanisme untuk menghindari situasi-situasi yang menimbulkan frustasi berat. Dalam masa bayi, anak tidak mempunyai pilihan lain kecuali situasi-situasi tersebut (Hall & Lindzey, 1993). Maka tidaklah mengherankan jika konflik-konflik emosional akut terjadi pada masa kanak-kanak (Dollard & Miller dalam Hall & Lindzey, 1993).

ÿ Dalam teori ini juga mengenal faktor-faktor tak sadar, namun berbeda dengan versi Freud. Dollard & Miller membagi menjadi dua bagian, yakni faktor-faktor yang memang tidak pernah sadar (dorongan, respon, dan isyarat yang dipelejari sebelum anak dapat bicara sehingga tidak diberi label) dan faktor-faktor yang meskipun pernah sadar namun sekarang tidak sadar lagi (yang lebih dikenal dengan represi). Represi adalah suatu proses menghindari pikiran-pikiran tertentu. Proses ini terjadi karena tekana dari lingkungan, dan dipelajari seperti respon yang lainnya. Respon tidak berfikir tentang hal-hal tertentu menyebabkan reduksi dorongan. Misalnya ketika teringat kejadian yang menakutkan maka seseorang segera mengalihkannya pada pikiran yang lain. Menurut teori ini represi adalah sebuah kontinum, mulai dari kecenderungan ringan untuk tidak berfikir mengenai hal itu hingga pada upaya untuk menghindari hal yang menakutkan. Luas dan berat ringannya proses represi ini tergantung pada beberapa faktor seperti kekuatan respon rasa takut yang dibawa sejak lahir, tingkat ketergantungan pada orang tua, dan berat ringannya trauma atau situasi yang menimbulkan rasa takut yang pernah dialami anak.

ÿ Tingkah laku yang menimbulkan konflik dijelaskan dalam lima asumsi dasar, yakni:

1. Perubahan tingkat mendekati, yakni ketika individu semakin dekat pada tujuan.

2. Perubahan tingkat menjauh, bahwa individu cenderung menjauhi suatu stimulus negatif.

3. Perubahan tingkat menjauh lebih tajam dibandingkan perubahan tingkat mendekat.

4. Meningkatnya dorongan (menjauh atau mendekat) berakibat pada bobot perubahan tingkat pada umumnya, artinya kekuatan menjauh atau mendekat akan tetap bertambah manakala tujuan itu didekati, namun dengan tingkatan yang lebih besar.

5. Jika ada dua respon yang bersaing, maka yang lebih kuat yang akan muncul.

Konflik terjadi ketika kedua kondisi di atas sama-sama kuatnya. Jika perubahan tingkat mendekat yang dominan, atau perubahan tingkat menjauh yang dominan, maka akan cenderung ke satu sisi dan tidak akan ada konflik. Namun jika perubahan tingkat mendekat sama kuatnya dengan perubahan tingkat menjauh, maka terjadilah konflik.

ÿ Konflik yang tidak terselesaikan dengan baik dan tetap berada pada alam bawah sadar, maka akan menimbulkan neurosis. Selama konflik-konflik tetap tak sadar maka konflik-konflik itu tidak hanya akan terus bertahan, tetapi juga akan menyebabkan berkembangnya reaksi-reaksi atau simtom-simtom yang lebih lanjut (Hall & Lindzey, 1993). Konflik-konflik neurotik diajarkan oleh orang tua dan dipelajari oleh anak (Dollard & Miller dalam Hall & Lindzey, 1993).

ÿ Psikoterapi, untuk mengatasi hal di atas maka ahli terapi harus menjadi pendengar yang simpatik dan permisif, mendorong pasien untuk mengungkapkan semua perasaannya, dan bebas berasosiasi. Apapun pikiran-pikiran pasien, ahli terapi harus tetap bersikap tidak menghukum dan berusaha menbantu pasien untuk memahami perasaan-perasaan ini dan bagaimana perasaan-perasaan ini berkembang (Hall & Lindzey, 1993).

REFERENSI

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press.

Hall, C & Lindzey, G. 1995. Teori Sifat Behavioristik. Editor : A. Supratiknya. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.