ORANG YANG BERFUNGSI SEPENUHNYA
Carl Rogers
Rogers meyakini bahwa seseorang harus bersandar hanya pada pengalamanannya sendiri. Kepercayaan dan keyakinan akan pengalaman orang sendiri menjadi sendi pendekatan Rogers terhadap kepibadian.
Jika Alport mendasarkan konsepnya tentang pribadi yang matang pada orang sehat, maka Rogers bekerja dengan individu-individu yang terganggu yang mencari bantuan untuk mengubah kepribadian mereka. Rogers mengembangkan metode terapi yang menempatkan tanggung jawab utama terhadap perubahan kepribadian pada klien (bukan pada terapis), oleh karenanya disebut dengan “terapi yang berpusat pada klien” (client centered therapy).
Berbeda dengan konsep Psikoanalisa yang mendasarkan pada aspek ketidaksadaran, maka menurut Rogers seseorang yang bertanggung jawab terhadap pribadinya sendiri dan mampu memperbaikinya, harus sadar dan rasional terhadap diri dan dunia sekitar mereka.
Manusia yang sadar dan rasional, tidak dikontrol oleh peristiwa-peristiwa masa kanak-kanak seperti pembiasaan toilet training yang membuat orang menjadi perfectionist atau sebaliknya, atau penyapihan dini yang mengakibatkan orang menjadi perokok berat atau pemabuk. Meskipun demikian, pengalaman masa lampau dapat mempengaruhi cara pandang kita terhadap masa sekarang, yang juga berpengaruh pada tingkat kesehatan psikologis kita. Rogers tetap berfokus terhadapa apa yang terjadi dengan kita sekarang, akan tetapi tidak mengabaikan pengalaman masa lalu kita.
Kepribadian harus diperiksa dan dipahami melalui segi pandangan pribadi klien, yakni pengalaman-pengalaman subjektifnya sendiri. Apa yang nyata bagi setiap klien adalah persepsinya yang unik tentang realitas. Realitas ini tergantung pada pengalaman-pengalaman perseptual setiap orang, maka realitas itu akan berbeda untuk setiap orang.
MOTIVASI ORANG YANG SEHAT adalah AKTUALISASI
Rogers menekankan sebuah kebutuhan fundamental dalam sistemnya tentang kepribadian bahwa manusia cenderung memelihara, mengaktualisasikan, dan meningkatkan semua segi dalam kehidupannya. Kecenderungan ini dibawa sejak lahir, yang mencakup komponen pertumbuhan fisiologis dan psikologis. Tidak ada segi pertumbuhan dan perkembangan manusia beroperasi secara terlepas dari kecenderungan untuk aktualisasi diri, meskipun dalam tingkatan yang lebih rendah kebutuhan fisiologis dasarlah yang dipenuhi terlebih dahulu.
Aktualisasi juga memudahkan dan meningkatkan pematangan dan pertumbuhan. Seorang bayi yang mulai bertumbuh perlu makanan, hingga masa anak-anak ia mulai menginginkan mainan, pada tingkatan yang lebih tinggi lagi saat remaja ia mulai butuh pengakuan dari teman-teman sebayanya. Pematangan secara penuh ini tidak dicapai secara otomatis, meskipun terdapat kecenderungan bawaan namun individu butuh banyak usaha untuk mencapai kematangan.
Kecenderungan untuk aktualisasi sebagai suatu tenaga pendorong adalah jauh lebih kuat daripada rasa sakit dan perjuangan, juga dorongan yang ikut menghentikan usaha seorang individu untuk berkembang. Sebagai contoh dalam usaha seorang anak yang belajar berjalan. Dalam prosesnya, ia mungkin beberapa kali akan jatuh dan tentunya terasa sakit. Akan lebih mudah baginya untuk tidak mencoba berjalan kembali dan ia akan terbebas dari rasa sakit. Namun anak tersebut terus mencoba berjalan meskipun kesakitan sebab ada dorongan yang lebih kuat daripada menghindari rasa sakit ini, yakni aktualisasi diri. Ingin membuktikan pada orang sekitar ia mampu berjalan, mendapatkan pujian dari orang-orang sekitar, juga untuk mencapai perkembangan pada tahap selanjutnya.
Tujuan hidup tidak hanya mempertahankan suatu keseimbangan homeostasis atau suatu tingkat ketentraman dan kesenangan yang tinggi, tetapi juga pertumbuhan dan peningkatan. Seseorang hidup tidak cukup hanya memenuhi kebutuhannya saja, kemudian setelah kebutuha terpenuhi, dorongan mereda dan tidak termotivasi untuk melakukan apapun. Melainkan seseorang butuh tumbuh dan berkembang untuk mencapai aktualisasi diri.
Aktualisasi adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologisnya yang unik. Jika pematangan dan perkembangan dipengaruhi oleh kondisi biologis (dari anak-anak berkembang menjadi remaja, maka muncul tanda-tanda kelamin sekunder), namun aktualisasi diri ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial (bagaimana lingkungan menghargai atau menempatkan seseorang hingga menjadi pribadi yang bermakna/ berharga, juga membantu proses untuk mencapai aktualisasi diri).
PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
Pada masa kecil, anak-anak mulai membedakan apa yang ada pada dirinya dengan lingkungan. Penggunaan kata “aku” atau “kepunyaanku” menjadi pertanda masa ini. Anak mulai mengembangkan apa yang menjadi bagian dari dirinya dengan apa yang dia lihat, dengar, diraba atau diciumnya. Masa ini sangat penting untuk membentu gambaran tentang diri atau dikenal dengan self concept.
Sebagai bagian dari self concept itu, anak menggambarkan dia akan menjadi apa atau seperti siapa kelak ketika dewasa. Gambaran ini semakin kompleks seiring dengan banyaknya ia berinteraksi dengan orang lain. Dengan mengamati reaksi orang-orang terhadap tingkah lakunya sendiri, anak itu secara ideal mengembangkan suatu pola gambaran diri yang diharapkan oleh lingkungan dengan keadaan dirinya yang sesungguhnya. Pada individu yang sehat dan yang mengaktualisasikan diri tidaklah terdapat jurang pemisah yang jauh antara diri ideal (harapan lingkunga) dengan diri sesungguhnya.
Cara-cara khusus bagaimana diri itu berkembang dan apakah dia akan menjadi sehat atau tidak, tergantung pada cinta yang diterima seorang anak saat ia masih kecil. Rogers menyebut hal ini sebagai penghargaan positif (positive regard). Setiap anak terdorong untuk mencari positive regard, namun tidak semuanya mendapatkan kepuasan yang cukup. Anak akan puas jika ia mendapatkan kasih sayang, cinta, pujian atau persetujuan dari orang lain, tetapi ia kecewa jika menerima celaan dan kurang mendapat kasih sayang.
Self-concept yang berkembang pada anak, sangat dipengaruhi oleh ibu. Apakah ibu ini memberikan pengharaan positif akan perilaku anak yang akan berdampak pada konsep diri yang positif, atau sebaliknya justru selalu mencela perilaku anak (meskipun telah melakukan sesuatu dengan benar) yang berakibat pada konsep diri yang buruk.
Positive Regard dari orang tua dapat diberikan terhadap anak melalui dua cara, yakni:
1. Conditional Positve Regard (penghargaan positive bersyarat)
Orang tua akan memberikan penghargaan positif, namun ada syaratnya yakni tingkah laku baik dan yang disenangi orang tua. Karena anak mengambangkan penghargaan positif dari ibu namun bersyarat, maka anak akan menginternalisasikan sikap-sikap ibu dan diterapkan pada dirinya. Sebagai contoh, ibu selalu mencela setiap kali anak menjatuhkan benda dari tempat tidurnya, maka suatu ketika anak akan mencela dirinya sendiri saat melakukan hal serupa.
2. Unconditional Positive Regard (penghargaan positive tanpa syarat)
Penghargaan tanpa syarat ini adalah syarat umum bagi timbulnya kepribadian yang sehat. Hal ini dikembangkan pada masa kecil dimana orang tua memberikan cinta dan kasih sayang tanpa memperhatikan bagaimana anak berperilaku (baik menurut nilai orang tua atau tidak). Penghargaan tanpa syarat tidak menghendaki adanya berbagai bentuk pengekangan terhadap tingkah laku anak, tetapi bukan berarti membolehkan anak melakukan apa saja yang diinginkannya tanpa dinasehati. Ibu dapat mencela tingkah laku anak yang tidak sesuai, tetapi tanpa menimbulkan perasaan bersalah bagi si anak. Anak tidak terlalu banyak dinasehati sehingga dapat menetapkan syarat-syarat penghargaan untuk anak, tetapi kepadanya diajarkan untuk memaknai dari setiap kesalahan atau kemarahan orang tuanya. Anak-anak yang tumbuh dengan perasaan unconditional positive regard tidak akan mengembangkan syarat-syarat penghargaan. Mereka akan merasa dirinya berharga dalam semua syarat, juga tidak adanya kebutuhan untuk bertingkah laku defensif. Pada akhirnya, seseorang akan dapat menjadi orang yang mengaktualisasikan diri dan mengembangkan seluruh potensinya.
ORANG YANG BERFUNGSI SEPENUHNYA
Rogers menyatakan bahwa kepribadian yang sehat itu bukan merupakan suatu keadaan dari ada, melainkan sebuah proses, yakni suatu arah bukan tujuan. Aktualisasi diri berlangsung terus, tidak pernah merupakan suatu kondisi yang selesai atau statis. Hal ini tentunya berbeda dengan teori yang dikemukakan oleh Alport tentang peredaan tegangan. Ketika tegangan dari sebuah kebutuhan terpenuhi, maka kita tidak akan memiliki motivasi lagi untuk melakukan hal baru. Namun menurut Rogers, seseorang terus berproses untuk mencapai aktualisasi diri.
Aktualisasi diri itu merupakan suatu proses yang sukar dan kadang-kadang menyakitkan. Seperti dicontohkan di depan tentang anak kecil yang belajar berjalan, jatuh dan sakit. Mestinya dengan mudah ia menghindari kesakitan dengan tidak mencoba berjalan, namun ia tetap memilih berjalan karena didorong oleh keinginan yang kuat untuk mengaktualisasikan dirinya.
Orang yang mengaktualisasikan diri adalah mereka yang benar-benar menjadi diri mereka sendiri. Mereka tidak bersembunyi di belakang topeng-topeng atau kedok-kedok, yang berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan mereka sebenarnya, atau menyembunyikan sebagian diri mereka.
Rogers tidak percaya bahwa orang-orang yang mengaktualisasikan dirinya hidup di bawah hukum-hukum yang diletakkan orang-orang lain. Arah yang dipilih, tingkah laku yang diperlihatkan semata-mata ditentukan oleh individu mereka sendiri. Diri adalah tuan dari kepribadian dan beroperasi terlepas dari norma-norma yang ditentukan orang-orang lain.
Rogers mengemukakan lima sifat orang yang berfungsi sepenuhnya, antara lain:
1. Keterbukaan pada Pengalaman
Seseorang yang tidak terhambat oleh syarat-syarat, bebas untuk mengalami semua perasaan dan sikap. Tidak ada satu hal pun yang dilawan, karena tidak ada satupun yang mengancamnya. Keterbukaan pada pengalaman adalah lawan dari sikap defensif. Ia terbukan terhadap semua pengalaman baru dan mampu membuka diri terhadap semua kesempatan yang datang.
Sebaliknya, orang yang dibesarkan dengan penghargaan bersyarat, maka ia akan menjadi orang yang defensif. Tidak dapat terbuka dengan semua hal yang ia alami, tidak dapat menerima atau bahkan mengetahui pengalaman tertentu.
Sebagai contoh, ketika oran tua menetapkan syarat bahwa anaknya harus pintar dan mampu menunjukkannya di hadapan publik lewat prestasi akademis maupun non akademis, maka anak akan berusaha mencapai itu dengan tujuan mendapatkan penghargaan dari orang tua. Namun jika ia tidak berhasil mencapainya, maka ia akan tertekan dan pribadinya tidak sehat. Berbeda dengan orang tua yang tidak mensyaratkan apapun untuk mendapatkan kasih sayang. Berprestasi atau tidak si anak di sekolah, ia tetap anaknya yang tetap akan mendapatkan kasih sayang.
2. Kehidupan Eksistensial.
Karena orang yang sehat terbuka kepada semua pengalaman, maka diri atau kepribadian akan terus menerus dipengaruhi atau disegarkan oleh pengalaman baru. Sebab setiap kali ia melakukan sesuatu, ia mendapatkan penghargaan. Kepercayaan dirinya berkembang baik karena ia selalu mendapatkan penghargaan dari orang tuanya, maka ia tidak akan takut mencoba berbagai peluang baru yang datang. Misalnya ketika diminta bernyanyi di depan kelas, menjadi ketua kelas yang ini merupakan pengalaman baru, maka dengan mudah ia akan mencoba pengalaman baru ini sebagai hal menarik untuknya belajar menyanyi di depan kelas atau menjadi pemimpin di kelas.
Akan tetapi, orang yang defensif harus mengubah sebuah pengalaman baru untuk membuatnya harmonis terhadap dirinya. Ketika ia diminta menyanyi di depan kelas misalnya, maka ia akan mengemukakan berbagai alasan seperti tidak bisa menyanyi atau suaranya tidak bagus karena ia takut ditertawakan, sebab ia sering tidak dihargai ketika ia belajar di rumah. Atau pengalaman baru sebagai ketua kelas tidak ia ambil sebab ia menganggap dirinya tidak mampu. Hal ini menutup peluangnya untuk mengcapai eksistensi dirinya. Ketika mendapat nilai jelek, pribadi yang sehat mampu menyatakan kondis yang sebenarnya jika semalam memang ia tidak belajar karena terlalu banyak main, namun orang yang defensif tidak mau mengakui jika ia tidak belajar. Mereka cenderung menyalahkan guru yang membuat soal terlalu sulit, atau soalnya yang kurang dapat dipahami dengan baik.
3. Kepercayaan Terhadap Organisme Orang Sendiri.
Orang yang sehat mampu bertingkah laku menurut apa yang dirasa benar, bertindak menurut impuls-impuls yang timbul seketika dan intuitif, banyak spontanitas dan kebebasan. Hal ini tidak sama dengan bertindak terburu-buru atau sama sekali tidak memperhatikan konsekuensi-konsekuensinya. Pribadi yang sehat terbuka sepenuhnya pada pengalaman, maka ia memiliki jalan masuk untuk seluruh informasi yang ada dalam suatu situasi untuk memudahkan baginya membuat pertimbangan ketika akan membuat keputusan. Individu yang sehat dapat membiarkan seluruh organisme mempertimbangkan setiap segi dari suatu situasi. Semua faktor yang relevan diperhitungkan dan dipertimbangkan serta dicapai keputusan yang akan memuaskan semua segi situasi dengan sangat baik.
Rogers membandingkan kepribadian yang sehat dengan sebuah komputer di mana semua data yang relevan telah diprogramkan ke dalamnya. Komputer itu mempertimbangkan semua segi masalah, semua pilihan dan pengaruh-pengaruhnya, dan dengan cepat menentukan tindakan.
Seorang yang beroperasi semata-mata atas dasar rasional atau intelektual sedikit banyak adalah cacat, karena mengabaikan faktor-faktor emosional dalam proses mencapai suatu keputusan. Orang yang defensif membuat keputusan-keputusan menurut larangan-larangan yang membimbing tingkah lakunya. Misalnya karena khawatir akan mendapat penolakan atau ditertawakan ketika akan presentasi, maka ia lebih memilih untuk tidak masuk kuliah sehingga kehilangan kesempatan untuk belajar berbiacari di depan kelas. Sebab individu ini hanya mampu melihat satu sisi, yakni kegagalan presentasi, tanpa ia mampu mengkaji beberapa faktor positif yang lain. Rogers mengibaratkan hal ini sebagai komputer yang diprogram untuk menggunakan hanya satu bagian data yang relevan.
4. Perasaan Bebas
Semakin seseorang sehat secara psikologis, semakin juga ia mengalami kebebasan untuk memilih dan bertindak. Orang yang sehat dapat memilih dengan bebas tanpa adanya paksaan-paksaan atau rintangan-rintangan antara alternatif pikiran dan tindakan. Orang yang sehat memilih sangat banyak pilihan dalam kehidupan dan merasa mampu melakukan apa saja yang mungkin ingin dilakukannya. Sebaliknya, orang yang tidak sehat memiliki pilihan-pilihan terbatas dan pendangan terhadap masa depan sempit.
5. Kreativitas
Orang yang kreatif dan spontan tidak terkenal karena konformitas atau penyesuaian diri yang pasif terhadap tekanan-tekanan sosial dan kultural. Karena mereka tidak terlalu defensif, maka mereka tidak menghiraukan kemungkinan tingkah laku mereka diterima dengan baik oleh orang-orang lain. Ia lebih mampu menyesuaikan diri dan bertahan terhadap perubahan-perubahan yang drastis dalam kondisi-kondisi lingkungan. Mereka memiliki kreatifitas dan spontanitas untuk menanggulangi perubahan-perubahan bahkan yang menimbulkan trauma.
Sebaliknya, orang yang tidak sehat lebih cenderung membuat kehidupan menjadi aman dan dapat diramalkan, dan menjaga supaya tegangan-tegangan berada pada suatu taraf yang minimal daripada mencari tantangan-tantangan, dorongan, rangsangan baru.
Referensi : Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan. Terjemahan: Yustinus. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.