Saat kita membahas mengenai aspek psikologis pastilah kita akan dihadapkan pada suatu hal yang sangat abstrak, tidak jelas, luas atau mungkin membingungkan. Mengapa demikian? Sebab ketika kita membicarakan mengenai aspek psikologis pastilah kita tidak menemukan hal yang nampak jelas layaknya kita mengenali aspek-aspek fisik kita. Ketika kita merasakan pusing, mungkin kita akan segera mengetahui jika ada masalah pada kepala kita. Karena tahu letak sakitnya dimana, maka upaya yang kita lakukan untuk mengatasinya pastilah tepat. Obat sakit kepala kita pilih untuk membantu kita meredakan sakit kepala. Saat baru jatuh, kaki terluka, maka dengan jelas luka itu terlihat dan kita akan segera ambil alkohol untuk membersihkan luka dan membubuhkan obat untuk luka. Darah tidak keluar lagi, dan masalah kita saat itu teratasi. Lalu jika kita merasakan kondisi psikologis yang kurang nyaman, seperti marah, sedih, kecewa, tiba-tiba merasa tidak enak hati, apakah dengan mudah kita dapat menemukan penyebabnya?
Pada sebagian orang yang selalu terbuka mengenai kondisi emosionalnya akan dengan mudah mengenali problem psikologis atau kondisi psikologisnya saat itu. Sebab dengan keterbukaan, akan membuat ia belajar memilah, dan mengenali emosi atau kondisi psikologis seperti apa yang sedang ia alami saat itu. Inilah yang dinamakan proses atau perkembangan kepribadian seseorang. Lalu bagaimana dengan orang yang tertutup atau tidak pernah terbuka dengan kondisi emosionalnya, apakah hal ini akan menghambat perkembangannya? Hal ini serupa dengan orang yang tidak mengetahui letak sakit fisiknya dimana, maka ia akan mencoba berbagai macam obat untuk mengatasinya. Ada percobaan yang berhasil, ada pula yang gagal. Jika tidak mau gagal dalam mengobati, maka pergilah ke dokter. Begitu juga dengan dimensi psikologis kita. Jika tidak mau salah dalam memaknai atau mengenali kondisi psikologis kita, maka datanglah ke seorang psikolog untuk membantu kita mengenali aspek psikologis kita.
Sayangnya, tidak semua orang yang mau meluangkan waktunya untuk mengunjungi tempat praktek psikologi untuk hanya sekedar berbagi. Masalah keterbatasan waktu, tenaga, ataupun biaya terkadang menjadi beberapa alasan yang membuat seseorang enggan untuk mengunjungi tempat praktek psikologi. Termasuk masih adanya anggapan bahwa psikolog hanyalah untuk orang yang “gila” atau mengalami gangguan jiwa saja. Padahal ketika ada masalah yang berkaitan dengan kehidupan kita sehari-hari, seperti konflik dengan pasangan, anak, penyesuaian diri dengan perubahan lingkungan, pekerjaan, atau masalah-masalah ringan dalam kehidupan sehari-hari dapat kita share dengan psikolog. Selain membantu kita meluapkan emosi-emosi negatif yang sedang kita rasakan, mungkin kita juga akan mendapatkan insight akan pemecahan masalah kita.
Bagaimana bagi yang tidak mempunyai waktu mengunjungi tempat praktek psikologi? Berikut akan sedikit kita bahas mengenai dimensi psikologis kita. Aspek psikologis kita terdiri dari tiga hal, yakni Kognisi, Emosi, dan Perilaku. Ketiganya merupakan komponen utama yang sangat berpengaruh pada segala hal yang kita lakukan dalam kehidupan kita. Berikut kita bahas satu-persatu mengenai aspek di atas.
1. Kognisi
Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan (Chaplin, 2004). Mudahnya kita mengartikan kognisi ini berkaitan dengan proses berfikir kita. Bagaimana kita memikirkan sesuatu hal yang terjadi dalam kehidupan kita, atau saat kita belajar, aspek kognisi kitalah yang bekerja saat itu.
2. Emosi
Emosi berkaitan dengan perasaan, yakni adanya pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun oleh bermacam-macam keadaan jasmaniah (Chaplin, 2004). Saat mencium bunga yang harum, adanya rasa senang. Saat melihat adegan sinetron yang menyedihkan, kita menangis. Pada kondisi di ataslah aspek emosi kita sedang bekerja.
3. Perilaku
Perilaku merujuk pada segala hal yang kita lakukan. Makan, minum, berjalan, memukul, jalan, berlari, dsb. Perilaku ini adalah hal yang nampak nyata dan mudah diamati oleh orang lain. Kita menilai teman kita pemarah, egois, pemalas, atau rajin, yang kita nilai adalah perilakunya yang nampak pada pengamatan kita.
Ketiga komponen di atas adalah aspek-aspek yang saling berpengaruh satu sama lain. Sebagai contoh ada dua orang mahasiswa yang sedang kuliah di kelas yang sama. Suatu ketika dosen mengumumkan bahwa minggu depan akan presentasi. Mahasiswa A sangat antusias mendengar berita ini. Dia sangat bersemangat untuk menunggu datangnya minggu depan. Mahasiswa B bereaksi sebaliknya. Dia sangat cemas, khawatir, dan enggan untuk menunggu datangnya minggu depan. Sama-sama mendapat stimulus yang sama, tetapi memiliki emosi yang berbeda pula. Akibatnya, perilaku mereka berdua juga berbeda. Si A datang lebih awal dan sangat bersemangat ketika saatnya presentasi tiba. Sedangkan si B memilih untuk tidak datang atau mungkin jika datang memilih tempat duduk paling belakang sendiri. Mengapa terjadi perbedaan, sebab sumber utamanya ternyata terletak pada pemikiran mereka berdua. Si A sangat antusias, sebab ia berfikir bahwa presentasi adalah ajang baginya untuk belajar berbicara di depan umum, mendapatkan masukan bagi kebaikannya, juga untuk menunjukkan kepintarannya. Sebaliknya, si B berfikir jika nanti saat presentasi ia gagal bagaimana, jika ada pertanyaan yang sulit dijawab bagaimana, jangan-jangan ia melakukan tindakan bodoh, juga beberapa pemikiran negatif lainnya.
Dari ilustrasi di atas nampaklah bahwa sumber utama dari semua hal yang terjadi adalah aspek kognisi kita. Jika kita mampu berfikir positif, maka emosi yang kita rasakan pasti positif dan tentunya perilaku yang muncul juga positif. sebaliknya, jika kita senantiasa berfikiran negatif, emosi yang kita rasakan pastilah negatif, dan tentunya perilaku yang muncul pun negatif. Lalu bagaimana mengatasi hal ini? Cobalah mengidentifikasikan dulu bentuk-bentuk emosi negatif yang terkadang mengganggu kita. Setelah itu kita coba cermati ulang, kira-kira apa yang kita fikirkan saat itu. Tabel di bawah ini mungkin dapat membantu kita mengenali aspek psikologis kita.
Situasi | Emosi (-) | Pemikiran (-) | Perilaku (-) | Konsekuensi (-) |
Presentasi | Cemas, khawatir, takut. | Jangan-jangan nanti ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab. Jangan-jangan ada yang menertawakan atau membicarakan saya di belakang. | Tidak masuk kuliah atau duduk di belakang. | Kehilangan kesempatan untuk belajar presentasi. Presentasi tidak maksimal. |
Suami pulang malam. | Marah. | Jangan-jangan dia baru pergi dengan cewek lain. | Memarahi suami, mendiamkan, tidak menyiapkan makan malam. | Hubungan dengan suami jadi tidak baik. |
Ketika kita telah mampu mengidentifikasi beberapa emosi dan pemikiran negatif kita, kemudia kita coba cari alternatif pemikiran yang lebih positif untuk memperbaiki perilaku kita. Misalnya :
Situasi | Pemikiran (+) | Emosi (+) | Perilaku (+) | Konsekuensi (+) |
Presentasi | Ini ajang bagi saya untuk belajar bicara di depan umum. Kesalahan itu wajar, toh kita masih belajar. | Tenang, percaya diri, antusias. | Tidak gugup saat presentasi. Datang lebih awal. | Presentasi lancar karena tidak cemas dan semua materi tersampaikan dengan baik. |
Suami pulang malam. | Mungkin ada pekerjaan yang belum terselesaikan. Tidak ada salahnya untuk mencoba percaya, toh misal dia bohong akan ketahuan juga nanti. | Tenang, tidak marah. | Dapat melayani suami dengan baik, menyiapkan makan, air untuk mandi. | Hubungan baik dengan suami tetap terjaga. Mengetahui secara detail hal sebenarnya yang dilakukan suami, sebab jika saya tidak marah maka ia akan dapat bercerita dengan nyaman. |
Hal di atas dapat kita terapkan dalam berbagai situasi di kehidupan kita, saat kita merasakan emosi-emosi negatif. Coba kenali emosi apa yang sedang kita rasakan, renungkan apa yang kita pikirkan saat itu hingga membuat emosi kita demikian, selanjutnya ubahlah ke dalam alternatif pemikiran yang lebih positif, maka perilaku kita akan menjadi positif pula. Belajar mengidentifikasi hal di atas dapat dengan menggunakan media tabel seperti di atas. Pada proses selanjutnya ketika kita sudah sering belajar dan terbiasa, maka secara otomatis ketika kita merasakan emosi negatif yang akan berdampak pada perilaku negatif, kita akan mampu menerapkan pemikiran yang lebih positif.
Memang tidak mudah untuk menerapkan hal di atas. Kita terbentuk seperti sekarang ini, tidak dalam sehari dua hari atau sebulan dua bulan, tapi bertahun tahun. Oleh karenanya, pola perilaku yang telah terbentu sekian tahun tentunya tidak mudah kita ubah dalam waktu seminggu dua minggu. Butuh waktu untuk mampu mengubah perilaku kita. Kuncinya adalah keterbukaan. Semakin kita jujur dengan kondisi psikologis yang kita alami, maka proses kita untuk menuju perubahan pun semakin mudah. Jangan terlalu sering memendam masalah, sebab dengan ini justru akan menimbulkan masalah baru. Kita ibaratkan kondisi kita seperti sebuah gelas dengan tutup rapat yang hanya mampu dimasuki air, namun tak mampu mengeluarkan air yang sudah masuk. Kapasitas gelas ini hanya 200cc. Setiap hari air ini masuk setetes demi setetes. Tetesan air ini diibaratkan masalah yang setiap hari kita hadapi. Suatu ketika, karena gelas ini tidak mampu mengeluarkan air yang sudah masuk, maka saat kapasitasnya mencapai 200cc lama-lama akan meledak dan pecah. Begitu juga dengan kondisi psikologis kita. Jika semakin sering kita memendam masalah, maka lama-lama akan membuat daya tahan psikologis kita rendah. Hanya karena ditanya orang tua “kok pulang malam” sudah langsung marah besar, sebab ternyata sebelumnya tiap kali orang tua memarahinya ia hanya diam tanpa berusaha menjelaskan duduk perkara yang sesungguhnya.
Manifestasi masalah-masalah yang tidak terpecahkan atau selalu dipendam, dapat juga dalam bentuk keluhan fisik. Misalnya sakit kepala, hipertensi, maag, gatal-gatal, atau beberapa penyakit fisik lain. Guna mengatasi hal ini, maka jangan terlalu sering memendam masalah. Alirkan keluar masalan atau beban yang dirasakan. Ibarat gelas tertutup rapat tadi, semestinya ada sedikit lubang yang berfungsi untuk mengalirkan air keluar agar tidak sampai meledak. Kita pun juga demikian. Bagilah masalah, beban pikiran atau emosi negatif yang sedang kita rasakan, kepada siapa saja orang yang kita percaya dan membuat kita merasa aman. Terlepas dari apakah kita akan mendapatkan solusi atau tidak, minimal beban kita tersalurkan. Ketika beban sudah hilang maka solusi secara otomatis akan terfikirkan, sebab letak solusi dari semua masalah yang sedang kita hadapi ada pada diri kita sendiri. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar